Politisasi Karbala?
Cover buku مَأْسَاةُ كَرْبَلاَءَ [Tragedi Karbala]

Oleh: Mahmud Budi Setiawan
APA yang terlintas di benak anda ketika disebut kata, ‘Karbala’? Bagi yang mengerti pasti akan mengingat satu sosok bersejarah bernama Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia merupakan adik kandung Hasan bin Ali. Meskipun keduanya sama-sama disaksikan Rasulullah sebagai pemimpin pemuda ahli surga, namun keduanya memiliki karakter yang berbeda. Kejadian di Karbala menyiratkan akan makna penting bahwa kecendrungan perjuangan Husain ialah melalui jalur politik dan kekuasaan. Sedangkan Hasan -yang sifat dan bentuk fisiknya digambarkan dalam suatu riwayat paling mirip dengan Rasulullah- sama sekali memiliki sikap dan kecendrungan yang berbeda dengan adiknya, Ia lebih melalui jalur lain selain politik. Karakter bawaan yang lebih menyukai perdamaian, membuatnya terabadikan dalam sejarah sebagai tokoh kunci yang sudah jauh-jauh hari diramalkan oleh Rasulullah sebagai pendamai kaum muslimin yang lagi bertikai, tepatnya hari itu diabadikan dengan nama yaumul jamaa`ah(hari bersatunya kaum muslimin di bawah naungan satu penguasa pada tahun 41 Hijriah).
Sedangkan Husain yang lebih ngotot dengan ijtihad pribadinya untuk tetap menentang kekuasaan melalui jalur politik harus akhirnya menemui takdir meninggal di bumi Karbala`. Ironisnya kebanyakan kaum muslim lebih  menokohkan Husain. Kalangan Syiah bahkan secara khusus memperingati gugurnya Husain pada tanggal 10 Muharram. Kisah kakak beradik ini diterangkan sedemikian rupa oleh penulis melalui rujukan-rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dari buku-buku sejarah yang pada intinya perjuangan melalui jalur politik dan kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka bagi umat Islam jika itu dijadikan tumpuan utama. Padahal masih banyak ranah lain untuk memperjuangkan Islam.
Buku ini ditulis oleh  Wahidudin Khan. Lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925m Wahidudin merupakan pemikir Muslim India kontemporer.  Ia memiliki pemikiran yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang Atheis dan sekular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya  menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca.
Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi. Ia telah mengarang banyak buku. Di antaranya dalam berbahasa Inggris: “Religion and Science, God Arises: Evidence of God in Nature & Science, In Search of God, Islam and Modern Challenges, The Way to Find God, The Quran, an abiding wonder, The Moral Vision: Islamic Ethics for Success in Life, Women Between Islam and Western Society, A Treasury Of The Qur’an, The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life, ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE, Islam and the Modern Man, ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE, Islam As It Is, A Treasury Of The Qur’an”
Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: “Al-Islam Yatahadda, Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi, Hikmah ad-Din, Tajdid `Ulumu ad-Din, Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal dan Khawathir wa al-`Ibar serta buku yang sedang diresensi saat ini yaitu Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.


Baca artikel  selengkapnya di KESESATAN SYIAH  tafhadol
Di awal pembahasan penulis menjelaskan bahwa: Hasan dan Husain merupakan tipikal yang merepresentasikan dua orientasi bertentangan dalam sejarah Islam.
Hasan orientasinya bukan pada politik, sedangkan Husain mempunyai orientasi politik. Hasan memilih damai dengan Mu`awiyah dalam peristiwa Aamul Jamaa`ah tahun 41 H. Sedangkan Husain lebih memilih konflik secara frontal dengan Mu`awiyah.
Keputusan Hasan melahirkan perdamaian di kalangan muslimin dan meredam potensi perang saudara. Sedangkan keputusan Husain mengantarkannya pada kematian di Karbala`.
Meskipun peristiwa Karbala` sangat populer, namun sayangnya sama sekali tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan peristiwa sejarah. Ajaran Islam dan peristiwa sejarah sama-sama menolak contoh (peristiwa) semacam ini.
Sebelum datangnya Islam di Makkah ada dua kabilah Qurays yang sangat istimewa yaitu Klan Abdi Manaf (Klan Hasyim) dan Klan Umayyah. Kedua kabilah ini sejak sebelum Islam sudah saling bersaingan. Klan Umayyah tak mampu mengungguli klan Hasyim, bahkan masuk Islam ketika tahun 8 Hijriah.
Ketika masa khulafaurasyidin Masa Khalifah Utsman dianggap sebagai yang mewakili klan Umayyah sedangkan masa Ali mewakili Klan Hasyim. Setelah Ali meninggal diganti Hasan. Tahun 41 H Hasan memilih damai dan menyerahkan kekuasaan ke Muawiyah. Praktis 20 tahun kondisi kaum Muslimin aman dan bisa memperluas wilayah di bawah pimpinan Mu`awiyah (W 60 H).
Sepeninggal Mu`awiyah konflik kekuasaan dimulai kembali. Husain tak mau bersikap seperti saudaranya, ia memilih menentang pemerintahan resmi. Dari sinilah titik tolak terjadinya tragedi 10 Muharram di Karbala` di mana Husain beserta pengikutnya yang tinggal 72 orang harus melawan pasukan bersenjata lengakap kiriman Yazid bin Muaawiyah yang berjumplah hampir 72 ribu pasukan.
Sebenarnya waktu itu Husain mau berdamai dengan menyampaikan tiga opsi, namun karena Ubaidillah bin Ziyad dihasut oleh Syarmadzi Al-Jausyan, akhirnya pembunuhan Husain pun tak terelakkan.
Pengganti Muawiyah ialah Yazid bin Muawiyah, ketika diangkat menjadi pengganti ayahnya ia langsung mengirim Walid bin `Utbah bin Abi Sufyan untuk mengambil baiat di Madinah. Husain menolak. Pada hari kedua beserta keluarganya pergi ke Makkah.  Karena Makkah tak memungkinkan untuk menjadi khalifah lantaran ada khalifah Abdullah bin Zubair maka dari itu Husain pergi Kufah. Sedangkan Hasan, setelah melepas diri dari kekuasaan Ia kembali ke kampung halamannya, Madinah. Husain ke Kufah karena disurati penduduk Kufah yang ingin mendukung menjadikannya khalifah.
Surat yang sampai kepada Husain kala itu hampir mencapai 150 surat. Hasan sudah menasehati Husain sedemikian rupa untuk tak pergi, namun Husain bersi keras: karena menurut Hasan tak mungkin kabilah kita memegang kenabian dan khilafa sekaligus. Muslim bin `Aqil bin Abu Thalib dikirim ke Kufah untuk mengambil baiat dan di sana didukung 18 ribu pendukung.
Ketika Yazid mendengar pergerakan Muslim bin `Aqil, ia mengirim Ubaidillah bin Ziyaad untuk meredam pemberontakan, akhirnya Muslim dan penjamunya, Hani` bin `Urwah kemudian dibunuh di atap rumah hingga kepalanya tanggal di hadapan semua orang yang mendukungnya.
Kala itu Abdullah bin Muthi` mengingatkan Husain: “Aku ingatkan padamu agar kembali ke Makkah, jika kamu tetap bersi keras untuk mendapat kekuasaan klan Umayyah, mereka akan membunuhmu, dan jika mereka membunuhmu, maka mereka tidak akan takut pada siapapun setelahmu selamanya. Kehormatan Islam dan Arab akan terenggut”.
Husain tetap ngotot pergi. Bahkan tak mempedulikan anjuran sahabat besar seperti Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Abbas, Amru bin Sa`ad bin Ash, Abdurrahman bin Harits. Bahkan Abdullah bin Zubair sempat menawarkan, jika Husain tak jadi ke Kufah maka Ia siap untuk membaiatnya di Makkah. Abdullah bin Ja`far bin Abi Thalib juga mendesak Husain agar tak pergi ke Kufah tapi tak membuahkan hasil.
Dalam perjalanannya Husain ketemu dengan penyair Farzadiq, lalu menanyakan kondisi Kufah. Farzadiq mengingatkan Husain: ‘hati orang Kufah bersamamu tapi pedangnya bersama klan bani Umayyah’. Pada akhirnya usaha Husain malah mengantarkan pada kegagalan yang sangat mengharukan dalam lembaran sejarah. Cucu Nabi ini meninggal di Karbala.
Setelah memaparkan secara singkat kilas balik sejarah tragedi Karbala, penulis menyatakan: “Seandainya kita mau mencalonkan dua pahlawan Islam antara Hasan dan Husain maka Hasan lebih pantas. Di sisi lain anjuran Nabi ketika terjadi fitnah supaya kaum Muslimin menjauhi konflik politik kekuasaan dan bergerak di ranah lain yang bermanfaat. Selama tak dilarang untuk shalat maka tetap sabar dengan kezaliman penguasa. Meski tetap memberi nasihat. Bukan berarti Nabi mengajarkan umatnya membisu di hadapan penguasa zalim tetapi sebagai semacam pencerahan untuk (fokus) mengarah pada amal serius dan dalam jangkauannya.
Pengalaman abad pertama Hijriah secara tegas memberikan pelajaran penting bahwa bentrok dengan sistem politik yang sedang berkuasa, seberapa ikhlaspun niatnya, hanya akan mengobarkan api fitnah, bahkan menciptakan masalah-masalah baru, menjadikan masalah semakin rumit dan kompleks.
Apa yang terjadi sepeninggal Utsman ternyata terus berlangsung sampai hingga pada masa Mu`awiyah dan seterusnya. Perang yang terjadi untuk mendapat kekuasaan tidak berakhir pada hasil yang pasti. Memang konflik berhenti dari dua kelompok yang berselisih, namun setelah konflik berakhir, maka terjadi konflik pula di tubuh internal kelompok masing-masing.
Buku ini secara ringkas ingin menyatakan bahwa keterlibatan kaum Muslimin dalam ranah politik dan kekuasaan acapkali –kalau tak boleh dikatakan pasti– mengalami kegagalan. Sejarah telah membuktikan. Supaya tenaga dan potensi umat tak terbuang percuma, penulis menyarankan umat Islam berjuang pada ranah lain sesuai potensi masing-masing. Sebab dengan tidak hanya terlalu fokus dengan politikuntuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat.
Sebab tabiat politik ialah persaingan. Dan sejarah membuktikan ketika kaum Muslimin terlibat pada persaingan politik, ujungnya akan menghadapi perpecahan saudara.
Buku ini cocok dibaca oleh aktivis gerakan Islam atau siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang sekilas sejarah tentang orientasi umat Islam ke ranah politik dan apa akibat-akibat yang akan dialaminya. Dengan membaca buku ini, mengingatkan kita berhati-hati dalam perjuangan bidang politik dan kekuasaan. Andai tetap berjuang pada jalur ini ini, minimal harus ekstra berhati-hati.*
Judul Buku                  : مَأْسَاةُ كَرْبَلاَءَ [Ma`saatu Karbalaa`]
Arti Judul                    : Tragedi Karbala`
Pengarang                   : Wahidudin Khan
Penerbit                       : ar-Risaalah li al-I`laan al-Dauli, Kairo
Tebal Buku                 : 59 Halaman
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 201
4
Axact

KESESATAN SYIAH

KESESATAN SYIAH INDONESIA sudah sangat parah, mereka menghancurkan pemikiran umat Islam Ahlul Sunnah melalui kajian kajian mereka dan buku buku mereka dan satu lagi mereka sudah masuk ke jajaran pemerintahan Indonesia, sehingga bisa merubah undang undang menurut kepentingan syiah

Post A Comment:

0 comments: